Penulis: Angela Hunt
Diterjemahkan oleh Arie Saptaji
Penerbit Gloria Graffa Yogyakarta
440 halaman
Cetakan Pertama Oktober 2009
Harga Rp 64.000,00
Perempuan itu seperti teh celup, kata Eleanor Roosevelt. Kekuatannya baru muncul ketika dimasukkan ke dalam air yang panas. Itulah yang mungkin ingin dikatakan Angela Hunt untuk menggambarkan tokoh Miryam dari Magdala ini.
Jendela cerita dibuka dengan melukiskan kehidupan Miryam yang tinggal di Magdala, kota kecil dekat danau Galilea dan kota Tiberias. Ia hidup nyaman bersama suami, anak laki-laki dan bayi satu tahunnya yang lahir bisu. Ia bersiap menjadi nenek karena menantunya sedang hamil besar.
Miryam seorang pengusaha kain halus di kota itu dan satu-satunya yang mempunyai teknik pencelupan terbaik. Kain halus buatannya sangat diminati wanita bangsawan dan kaum berduit, termasuk gundik perwira Romawi bernama Carina, yang bersedia mengganti 10 keping emas untuk kain kirmizi Miryam yang istimewa, yang warnanya berubah ungu bila dihadapkan ke sinar matahari.
Kain itulah awal malapetaka. Atau bisa juga karena Avram, putra sulungnya, yang siang itu di danau, dengan berani meludahi sandal seorang tentara Romawi yang tengah bertugas di wilayah itu. Miryam pergi untuk menjemput keping emasnya dari nyonya Romawi yang tidak pernah diterimanya, lalu tiba di rumah dan mendapati kenyataan bahwa seluruh anggota keluarganya dibantai oleh beberapa tentara Romawi. Miryam meradang dengan sangat, menuntut keadilan.
Tokoh Pasaran yang Bikin Penasaran
Miryam adalah tokoh yang sama dengan Maria Magdalena di novel fenomenal The Da Vinci Code. Kalangan Kristen telah mahfum bahwa tokoh ini seorang perempuan tuna susila. Bahkan di novel Dan Brown, Maria Magdalena digambarkan menikah dengan Yesus, berkeluarga dan tinggal di Prancis.
Tetapi sebenarnya, sejauh riset yang dilakukan pengarang, sejarah abad pertama tidak pernah mencatat Miryam sebagai pezina. Dalam teks Kitab Suci, Miryam disebut sebagai perempuan yang pernah dibebaskan dari tujuh setan oleh Yeshua (nama Ibrani untuk Yesus). Dan namanya muncul beberapa kali dalam Injil: saat Yeshua bersama murid-murid, menjelang peristiwa kayu salib, dan tercatat sebagai orang (perempuan) pertama yang melongok kubur kosong makam. Jelas ia memainkan peran penting saat Yeshua mulai menyebarkan ajaranNya tentang kasih.
Tokoh Miryam di sini sungguh kuat dan memikat. Dia digambarkan penuh perhitungan, pintar cari uang dan mengetahui hukum tradisi bangsanya. Setelah kematian suami dan anak laki-lakinya, dia mengerti posisi tawarnya yang lemah tanpa laki-laki penjamin. Namun ia berani mempertanyakan keadilan HasHem, sebutan Allah orang Ibrani, dan tidak menerima begitu saja ketika hidupnya dicerai-beraikan.
Emosi Miryam diperlihatkan dengan manusiawi menurut ukuran perempuan sekelasnya, meski ia telah terpesona dengan ajaran Yeshua tentang rahasia pengampunan. Namun ia telah berjanji kepada dirinya sendiri, dan bahwa kepahitan itu belum selesai di hatinya, dan mencengkeram jiwanya sehingga memutuskan sendiri cara mencari jalan keadilan.
Memanusiakan Manusia
Dua tokoh sentral dalam cerita adalah Miryam, dengan gaya penceritaan ber-aku, dan Atticus Aurelius, salah satu tentara Romawi yang bertanggung jawab atas pembunuhan keluarga Miryam. Sebaliknya Atticus juga adalah penyelamat Binyamin, bayi Miryam si satu tahun yang ternyata tidak ikut mati tetapi menjadi anak angkat Aurelius dan diberi nama Romawi, Quintus.
Quintus adalah metaphor yang cemerlang dan strategis, terapi bagi jiwa Atticus yang mempunyai pengalaman pahit di masa lalu karena kematian adiknya yang karena kesalahannya. Masyarakat majemuk yang digambarkan di novel ini membuat saya teringat film Kingdom of Heaven, yang berlatar perang salib, di mana kebencian dan saling bunuh terjadi justru karena manusia mengusung simbol-simbol agama. Sebuah ironi karena agama seharusnya membawa damai bagi pengikut dan lingkungan sekitarnya.
Novel ini cukup berhasil membebaskan dirinya dari godaan-godaan untuk menonjolkan salah satu ajaran yang paling baik. Secara obyektif pengarang memaparkan masing-masing tradisi masyarakat Romawi, orang Yahudi dan Yunani, bangsa Mesir yang membuat Yerusalem menjadi kota majemuk. Semuanya hidup bersama seperti musuh dalam selimut.
Mengisi Ruang-ruang Kosong
Bila Anda membaca kisah-kisah Maria dalam teks Kitab Suci, mungkin kita akan dapat membedakan tokoh fakta dan fiktif dalam kisah ini. Ruang-ruang kosong dalam teks diisi dengan ukuran fiksi yang pas dan sealami mungkin. Dan keputusan penerbit untuk membiarkan nama-nama khas Yahudi atau Romawi atau Mesir, berikut istilah perayaan masing-masing agama dan etnis, merupakan aksen yang memberi nilai lebih, yaitu memudahkan pembaca dengan segera mengenali identitas tokoh.
Penerjemahan pun dilakukan dengan ciamik. Penerjemah Arie Saptaji yang mengaku hanya tiga minggu menyelesaikan buku ini, dengan elok menghadirkan kata-kata yang jarang muncul seperti berjengit, menjemba, mencebik, denyar, kegawalan, menjambalewa. Kehadiran kata-kata itu menjadi jembatan yang membuat bacaan lebih luwes tanpa mengurangi makna cerita. Buku ini mudah dinikmati dan membuka wawasan dalam memahami ruang-ruang yang tidak lengkap dalam teks.
Selamat membaca
Ita Siregar, Desember 2010